Kitab Fathul Muin membahas tentang apa ? Kitab Fathul Mu'in merupakan salah satu kitab yang ditulis oleh Ahmad Zainuddin Alfannani, kitab ini membahas tentang fiqh. Dalam kitab ini cukup lengkap karena mencakup bab taharah sampai jinayat atau pidana.
Kitab Fathul Mu'in merupakan salah satu kitab yang memiliki banyak bahasa indah di dalamnya, yaitu jinās. Jinās adalah kesamaan dua lafadz dalam pengucapan, tetapi makna keduanya berbeda.
Buku ini mengandung banyak jebakan. Siapa pun yang membacanya tanpa memperhatikan kata-kata yang berbaris di dalamnya dengan cermat, akan salah paham. Terkadang dalam rangkaian kalimat maudhu (subjek) dan mahmul (predikat) tidak berada pada halaman yang sama.
Tidak ada orang pesantren yang tidak mengenal kitab ini, kecuali dia adalah santri honoris causa. Kitab Fathul Muin termasuk dalam fan (mata pelajaran) fiqh. Ia ditujukan untuk siswa tingkat menengah, biasanya setelah Fathul Qorib selesai.
Jika Fathul Qorib hanya berisi bab (pembahasan utama), maka di dalam Fathun Muin selain bab, juga mencakup far'un, mas'alah, tanbih, khatimah, dan tatimmah. Artinya, Fathul Muin menjelaskan fiqh secara panjang lebar, lebih dari sekedar konsep dasar.
Kerumitan dalam memahami Fathul Muin biasanya akan terurai dengan membaca hasyiyah. Di antara hasyiyahnya yang paling terkenal adalah I'anatu ath-Thalibin karya as-Sayyid al-Bakri. Bahkan di pesantren ada pepatah, “Membaca Fathul Muin tanpa membaca I’anatu ath-Tholibin, niscaya akan tersesat.”
Fathul Muin adalah kitab syarah (komentar) atas kitab Qurrotul 'Ain. Uniknya, penulis kedua buku tersebut adalah orang yang sama. Jadi di sini ada seorang penulis yang menulis komentar untuk buku yang dia tulis sendiri.
Penulisnya bernama Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali al-Ma'bari al-Malibari al-Fanani al-Syafi'i. Tidak ada informasi pasti mengenai tahun kelahiran dan kematiannya.
Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa lokasi yang lebih akurat untuk tempat kelahirannya diyakini adalah kota Chombal dekat kota Mahe di daerah Kannur, di wilayah utara Kerala, juga dikenal sebagai Malabar. Lahir pada tahun 938 H di tengah-tengah keluarga yang dikenal dengan sebutan “Al-Makhdum”.
Nenek moyangnya disebut oleh para sejarawan yang berasal dari Yaman yang menjelajahi dunia dan akhirnya berlabuh ke suatu daerah yang disebut Ma'bar yang terletak di pantai tenggara Malabar yang sekarang disebut Coromandel di wilayah Tamil Nadu.
Mazhab Asy-Syafi'i juga sudah lama tersebar di kawasan Malabar ini. Hal itu bisa diketahui dari catatan Ibnu Batthutoh saat berkunjung ke negara tersebut.
Pengarang menulis di akhir Fathul Muin tanggal selesainya kitab tersebut, yaitu 24 Ramadhan 982 H. Jadi, yang bisa kita pastikan adalah dia adalah seorang ulama yang hidup pada abad ke-10 Hijriah.
Dia berasal dari keluarga ulama. Kakeknya, Zainuddin bin Ali, merupakan seorang tokoh penting keturunan Arab yang menyiarkan ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab di India pada abad ke-9 H.
Di daerah tempat tinggalnya yaitu Malibar, kini termasuk dalam wilayah Kerala, salah satunya dari negara bagian di India, orang-orang di sana menjulukinya al-Makhdum. Belakangan sang cucu diberi julukan yang sama.
Untuk membedakan antara kakek dan cucu yang sama-sama bernama Zainuddin dan sama-sama berjuluk al-Makhdum, akhirnya Zainuddin bin Ali dijuluki Zainuddin al-Awwal atau al-Makhdum al-Awwal, sedangkan Zainuddin bin Abdul Aziz, penulis Fathul Muin, dijuluki Zainuddin ats-Tsani atau al-Makhdum ats-Tsani.
Zainuddin ats-Tsani adalah murid dari Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H.) Jadi, jika kita membaca Fathul Muin dan kita menemukan kata 'syaikhuna' (guru saya), itu berarti Ibn Hajar al- Haitami. Selain itu, ia juga belajar dengan Ibnu Ziyad (w. 975 H.), az-Zamzami (w. 976 H.), dan banyak ulama lainnya.
Begitu banyak kelebihan yang dimiliki oleh kitab yang sampai saat ini, setelah melewati beberapa abad, masih dipelajari di banyak pesantren di Indonesia. Banyak contoh masalah fiqh yang dihadirkan dalam Fathul Muin masih relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini, atau dalam bahasa orang pesantren disebut waqi'iyyah.
Menurut Syekh Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari al-Fannani, dalam menjalankan syariat Islam, setiap muslim harus berpegang pada Al-Qur'an dan hadits (sunnah) Nabi Muhammad.
Oleh karena itu, berbagai karya yang ditulis oleh para ulama yang menjelaskan suatu masalah hukum Islam didasarkan pada dua sumber hukum Islam di atas.
Pendapat atau pandangan para ulama dalam berbagai karya tersebut merupakan komentar mereka dalam memudahkan masyarakat (Muslim) dalam memahami hukum Islam. Disinilah peran ulama menjadi mujtahid (yang serius mendalami sumber-sumber hukum Islam).
Oleh karena itu, umat Islam mengenal berbagai sumber hukum Islam. Antara lain Alquran, hadits, ijmak, qiyas, al-mashlahah mursalah, syaddudz dzara'i, istihsan, istishab, urf, dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Syekh Zainuddin Al-Malibari, sudah selayaknya seorang muslim yang belum mampu mendalami hukum sendiri harus mengikuti pendapat atau pandangan para mujtahid (mazhab).
Menurutnya, dengan perkembangan budaya manusia yang semakin maju, diperlukan acuan yang jelas dalam menggali hukum-hukum Islam. Ia menegaskan, tanpa menggunakan mazhab para ulama mujtahid, implementasi syariat Islam tidak akan semulus sekarang.
Apalagi banyak persoalan furu'iyyah (salah satu cabang hukum Islam) yang harus ditentukan atau diputuskan oleh hukum. Sedangkan masalah tersebut tidak dijelaskan secara gamblang dalam Al-Qur'an maupun hadits Nabi SAW.
Oleh karena itu, pemanfaatan hasil ijtihad para ulama mujtahid atau ulama madzhab menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kitab karya Syekh Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari al-Fanani membahas empat hal, yaitu ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayah.
Demikian sekilas pandang tentang Kitab Fathul Mu'in. Jika Sobat penasaran isinya namun tidak bisa membaca Arab gundul, silahkan cari buku atau Kitab Fathul Mu'in dan terjemahannya di pasar online. Bisa juga mengunduh terjemahan Kitab Fathul Mu'in pdf di internet.